KELEDAI : ANTARA WORTEL DAN CAMBUK

Pelatihan Leadership, Sampit, Kalteng

Para pemimpin dengan gaya lama, atau yang saya lebih suka menyebutnya sebagai gaya kolonial alias penjajah, meletakkan konsep memimpin dengan dua prinsip : penghargaan dan hukuman. Reward and punishment.

Tentu saja gaya ini berhasil pada era kolonial, dimana penjajah dikelilingi para penjilat yang siap mengorbankan apapun, termasuk orang lain dan rekan kerjanya, agar mendapat upah yang mereka harapkan dari junjungannya.  Para penjilat bermental ABS, yang maknanya tidak jelas apakah asal bapak senang atau asal badan senang, memang manusia yang haus harta dan kedudukan.

Oleh sebab itu jangan heran, VOC alias kompeni yang merupakan kaki awal penjajah Belanda masuk ke Indonesia, hanya bermodalkan sepuluh kapal saja mampu menguasai nusantara. Dan jika banyak orang sekarang mengeluh tentang kemandirian bangsa dan kedaulatan negara, coblah berkaca pada sejarah. Bercermin bagaimana kekuatan asing mampu meninabobokan penguasa local masa lalu dengan buaian kesenangan dan para penjilat yang mengelilingi mereka.

Kritik atau perbedaan pendapat bagi penguasa local yang terperdaya oleh kolonialisme adalah barang tabu yang pelakunya harus ditabok dan dihina. Kalau perlu dikucilkan dan diinjak dengan kehinaan, walaupun mereka membela kebenaran dan keadilan. Yang…  untungnya itu hanya catatan lama dalam sejarah, bagaimana para penjilat dan penguasa local waktu itu saling bersinergi untuk sebuah kedudukan dan sedikit harta.

Oleh karena itu, dalam konteks kolonialisme, manusia hanya dipandang sebagai kedelai. Yang menurut dikasih wortel dan yang membangkang dicambuk. Pendekatannya murni kekuasaan. Siapa yang kuat akan menindas yang dibawahnya. Saling injak. Maka berlakulah “politik belah bamboo”. Yang atas diangkat, yang bawah dipijak. Atau politik katak, yang atas dijilat yang bawah diinjak agar dapat melompat naik. Simpel sekali, namun brutal.

Baca Juga  Kepemimpinan Transformasional dan Tanggung Jawab Pemimpin Muslim

Tentu saja dalam organisasi modern yang humanis, cara-cara ini sudah lama ditinggalkan. Termasuk pola-pola transaksional yang memandang manusia hanya dari nilai ekonomis dan bargaining position tawar menawar kepentingan. Sebab dalam organisasi modern diyakini bahwa manusia akan memberi kinerja yang terbaik jika diperlakukan sebagai manusia. Jika hatinya dapat direbut.

Dan itu hanya dapat dilakukan dengan keadilan, dengan sebuah prosedur yang jelas, serta menempatkan manusia sebagai sebuah kesetaraan yang sinergis. Sudah lama konsep hukuman dan penghargaan itu ditinggalkan dan diganti dengan dorongan untuk bersama mencapai tujuan bersama.

Manusia bukan kedelai yang dikontrol begitu ketat dengan aturan dan sanksi (cambuk), ini akan menghasilkan perlawanan dan teknik adaptasi berupa cara mengakali aturan atau control itu. Manusia dalam organisasi juga tidak dapat selamanya dipacu kinerjanya dengan penghargaan, sebab akan menghasilkan persaingan tidak sehat dan saling sikut. Saling menjatuhkan. Yang dalam jangka panjang keduanya akan menghancurkan kinerja organisasi.

Manusia hanya dapat menjadi produktif dan berkinerja tinggi jika ada landasan spiritual yang jelas, diperlakukan secara adil, diberi contoh oleh yang memimpin mereka, dan dihargai sebagai manusia. Gampangnya, hanya keledai yang pantas diperlakukan dengan konsep reward and  punishment.

Jadi.. belajar dimanakah mereka yang berfikir bahwa membuang dan menginjak-injak bawahan akan dapat menghasilkan kinerja yang baik? Haha hai.. sesungguhnya pemimpin yang demikian bukanlah sedang menghukum bawahan, tetapi sedang memamerkan perangainya. Atau setidaknya mereka sedang menyiapkan apa yang diperlakukan orang kepada anak cucunya, kelak.

Keadilan itu milik Tuhan, bro. Berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.

Jika organisasi Anda ingin memerlukan pelatihan yang berkenaan dengan manajemen, leadership, atau pun komunikasi, silakan menghubungi kontak kami. Lembaga kami akan senang sekali bekerjasama dengan Anda maupun organisasi Anda. Baik Anda di Kalsel, Kalteng, Kaltim, atau provinsi lainnya di Indonesia. Baik di Sampit, Kotim, Palangkaraya, Banjarmasin, Pangkalan Bun, Kobar, Kapuas, Pelaihari, Kuala Pembuang, Seruyan, Kasongan, Bartim, Barsel, Tanah Laut, Barabai, HSS, Katingan, Lamandau, Sukamara, Pulang Pisau, Amuntai, dan kita lain di Indonesia. Termasuk pelatihan public speaking, NLP, Outbound, dan pembangunan perdesaan. Kompetensi dan pengalaman kami siap membantu Anda membuat perubahan menjadi lebih baik.

Baca Juga  Public Speaking Palangkaraya: Bisakah Jadi Pembicara Handal dalam 2 hari?

Author: norman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *