
Pelatihan SDM dan Outbound, Sampit, Kalteng
Istilah tragedi kepemilikan bersama, mengacu pada tulisan Garret Hardin, Profesor Emeritus of Ecology, University of Santa Barbara-California dalam Majalah Science edisi 162 yang terbit tahun 1968, Tragedy of the Commons. Tragedi kepemilikan bersama merupakan perangkap sosial yang biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang menyangkut konflik antara kepentingan individu dengan barang milik umum.
Tragedi kepemilikan bersama diakibatkan oleh sikap yang memandang sumberdaya alam adalah milik semua orang yang telah diciptakan Tuhan, sehingga siapa saja dapat memanfaatkannya. Dalam logika sederhana, prinsip ini lebih kurang bermakna ”Kalau tidak saya manfaatkan sekarang, pasti ada orang lain yang juga akan memanfaatkannya.”
Konsep ini akhirnya membuat semua penduduk menggunduli hutan di Inggris pada masa revolusi industri dan mengubahnya menjadi padang penggembalaan untuk memelihara domba, karena tingginya permintaan wool dengan harga yang menguntungkan. Akibatnya eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali dan menyebabkan hutan di Inggris mengalami penggundulan dengan sangat cepat dan berdampak buruk pada lingkungan.
Tragedi kepemilikan bersama merupakan metafora yang menggambarkan bahwa akses bebas dan ketidakterbatasan akan sumberdaya alam pada akhirnya akan menyebabkan malapetaka struktural yang tidak terelakkan terhadap sumberdaya tersebut berupa eksploitasi berlebihan (over-exploitation) yang menyebabkan habisnya sumberdaya tersebut. Malapetaka dampak buruk dari eksploitasi tersebut akan terdistribusi ke semua orang yang juga memerlukan sumberdaya tersebut, sedangkan yang menikmatinya hanya kelompok tertentu.
Tragedi kepemilikan bersama itulah yang tampaknya telah mendorong terjadinya berbagai praktek illegal dalam penggunaan sumberdaya alam seperti illegal logging, illegal mining, bahkan illegal fishing. Termasuk dengan mudahnya mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada sebelum melihat dampak yang lebih luas dan prospek jangka panjangnya. Kesannya, seperti ”jual murah” sumberdaya alam, padahal pemulihan lingkungan memerlukan biaya mahal dengan waktu yang sangat panjang, serta hampir mustahil pulih seperti sediakala.
Beberapa sumberdaya alam bahkan tidak dapat lagi diperbarui jika telah habis, sehingga kearifan dalam menggunakannya akan menentukan nilainya di masa depan. Sejumlah negara bahkan memilih mengimpor bahan tertentu dari negara lain, bukan karena tidak mempunyai sumberdaya tersebut, tetapi karena ingin menghemat dan menjadikan cadangan sumberdaya yang mereka miliki.
Salah satu yang paling berharga yang tidak dimiliki bangsa lain adalah keanekaragaman hayati negeri ini. Saking kayanya kita dengan flora dan fauna, sampai digolongkan sebagai negeri dengan megabiodiversity. Ironinya, hutan kita yang menyimpan kekayaan ini semakin tercancam keberadaannya.
Bahwa sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat memang amanah konstitusi, tetapi fungsi lingkungan harus tetap diperhatikan, termasuk daya dukung untuk dapat mempertahankan keamanan ekologis suatu wilayah. Begitu pula hak bagi generasi yang akan datang untuk tetap menikmati lingkungan yang nyaman dan sumberdaya yang melimpah.
Pertumbuhan ekonomi tidak akan berlangsung tanpa lingkungan yang lestari. Dalam satu dua tahun atau dalam satu dekade bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan yang tinggi dengan mengandalkan sumberdaya alam yang tersedia. Jika akses ke eksploitasi sumberdaya alam ini menjadi bebas kontrol, maka sumberdaya alam tersebut akan dengan cepat habis. Meskipun tidak benar-benar habis, karena sumberdaya akan berhenti dieksploitasi jika secara ekonomis tidak menguntungkan lagi.
Ketika dalam krisis keuangan global saat ini kita masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kita patut merenungi: darimana sumber pertumbuhan itu? Apakah didorong oleh sektor konsumsi ataukah didorong oleh pengorbanan sumberdaya alam? Apakah investasi yang mengandalkan sumberdaya alam memang kita perlukan ataukah justeru investornya yang lebih perlu?
Ekonomi konvensional hanya mengukur faktor-faktor yang wujud dan terukur (tangible). Padahal pada kenyataan setiap aktivitas (ekonomi) menimbulkan eksternalitas baik positif maupun negatif. Sehingga dengan tidak dimasukkannya external cost dalam analisis ekonomi berdampak pada terjadinya degradasi lingkungan.
Munculnya kesadaran akan pentingnya lingkungan menyebabkan kegiatan ekonomi harus melakukan proses intenalizing external cost dan external benefit. Inilah kerangka fikir yang mendasari perlunya perhitungan korbanan lingkungan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi yang sering disebut sebagai Green PDRB atau PDRB Hijau