Pelatihan Bumdes Sampit, Kalteng
Perkembangan Bumdesa (Badan Usaha Milik Desa) di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kalimantan Tengan (Kalteng) pada umumnya, sudah kita ketahui bersama. Sebagian besar mankrak, alias tidak jalan setelah terbentuk, dan hanya sebagian yang masih berjalan. Itupun mungkin dengan tertatih-tatih. Selain itu masih ada sebagian kecil yang belum membentuk Bumdesa. Dan ini tidak apa-apa, karena desa memang tidak diwajibkan membentuk Bumdesa. Dalam Undang-Undang Desa disebutkan bahwa desa dapat mendirikan Bumdesa.
Sampai saat ini di Kalteng terdapat sekitar 1.100 Bumdesa, dengan jumlah yang aktif hanya 59% atau 645 Bumdesa (Borneonews, 2023). Dengan status 6 Bumdesa maju, 77 berkembang, 214 pemula, dan sisanya perintis 807 Bumdesa (Kabar Kalteng, 2024).

Ada sebab beberapa kenapa Bumdes mangkrak, sebagaimana tulisan saya terdahulu. Pertama adalah kesalahpahaman terhadap Bumdesa dan pengelolaannya. Dimana jangankan di Desa, pada tingkat suora desa seperti kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi pun banyak yang tidak paham tentang prinsip pengelolaan Bumdesa. Kedua adalah sikap mental kepala desa dan pengelola Bumdesa, yang terlihat dari gaya mereka mengelola Bumdesa. Mulai dari penyertaan modal yang tidak prosedural, pengganggaran bumdes dalam APBDesa yang tidak sesuai, sampai pada pendirian bumdesa tanpa kajian sama sekali. Termasuk pemahaman bahwa pengelola Bumdesa tidak digaji, Entah darimana sumber pendapat ini.
Ketiga, tidak adanya perencanaan bisnis yang matang yang mengindikasikan bahwa proses penyertaan modal bumdesa pun tidak prosedural. Minimal angkanya hanya berdasarkan kira-kira. Logikanya, jika perencanaan bisnis yang baik saja, hasilnya belum tentu hasilnya baik. Apalah lagi jika tidak ada perencanaan atau perencanaannya asal-asalan. Sedangkan yang keempat adalah administrasi dan pelaporan keuangan yang terabaikan. Hal ini menyebabkan perkembangan gelandangan tidak dapat diukur. Padahal kita tahu bahwa sesuatu yang tidak dapat diukur berarti tidak dapat dikendalikan. Sehingga perkembangan bumdesa pun menjadi sulit untuk dipantau, termasuk potensi korupsi.

Sedangkan yang kelima adalah pengawasan yang masih perlu ditingkatkan. Minimnya pengawasan, baik secara internal seperti tidak berfungsinya “pengawas bumdesa”, maupun penngawasan dari supra desa. Minimnya pengawasan bumdesa ini menyebabkan pengelola yang seenaknya dan tidak tertangani sejak dini sekiranya ada penyimpangan. Banyak kerugian yang ditimbulkan oleh Bumdesa yang meliputi penggantian pengurus dan upaya mengabaikan keadaan sebelumnya yang jika ditelisik merugikan keuangan negara. Hal ini pun diperparah dengan minimalnya pelatihan dan pendampingan bumdesa. Sebab anggaran DPMD terbatas dan pejabatnya masih belum paham tentang hak milik Bumdesa.
Sedangkan faktor keenam yang menjadi sebab mangkraknya Bumdesa adalah pelatihan Bumdesa yang tidak komprehensif dan serampangan. Biasanya yang dibor hanya pengelola Bumdesa, sedangkan kepala desa, BPD, dan Pengawas Bumdes tidak. Hal ini menyebabkan ketimpangan pemahaman dan perbedaan persepsi. Belum lagi kelas pelatihannya pesertanya melebihi kapasitas, fasilitator tidak menguasai metodologi pelatihan alias tidak memiliki sertifikasi fasilitator, serta tidak pernah mengikuti pelatihan pengelolaan bumdesa. Hanya kebetulan yang bersangkutan menjadi pejabat saja. Sehingga terkadang materi atau slide pelatihannya dibuatkan staf, yang tidak jarang adalah tenaga kontrak, yang sama seperti pejabatnya, belum pernah ikut pelatihan bumdesa.
Pernah terjadi era pelatihan bumdesa ugal-ugalan di suatu daerah, dimana peserta dibawah kota besar atau daerah wisata di Pulau Jawa. Diinapkan dan disediakan hotel mewah sebagai tempat pelatihan, yang lucunya pengajarnya justru pejabat dari daerah tersebut juga. Meskipun menggunakan EO atau provider dari ibukota atau tempat lain yang biasanya sudah berlangganan. Biayanya mahal sekali sudah pasti, dengan biaya transportasi yang juga aduhai. Dengan kelas yang diisi banyak sekali peserta serta keinginan lanjallan yang lebih besar, tentu saja pembelajarannya menjadi tidak efektif. Ini diperparah dengan biaya pelatihannya yang diambil dari penyertaan modal bumdesa. Kacau kan?

Dari beragam penyebab ini, membangkitkan Bumdesa dan memperbaiki pengelolaannya memerlukan langkah-langkah strategi yang mendesak. Dalam hal ini ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah kabupaten, provinsi, maupun nasional. Pertama mengaudit secara total dan menyeluruh terhadap pengelolaan Bumdesa selama ini terutama pertanggungjawaban atas penyertaaan modal Dana Desa ke Bumdesa. Kedua adalah membangun komitmen dan keseriusan pemerintah daerah dalam membangun Bumdesa, yang diwujudkan dalam anggaran yang mampu sehingga pelatihan bumdes ditanggung APBD dan anggaran untuk pendampingan bumdesa yang mampu. Termasuk penunjukan pejabat yang menangani Bumdesa maupun desa secara keseluruhan haruslah di atas dasar kompetensi. Sudah tidak masanya lagi menunjuk pejabat hanya karena menjadi tim sukses atau atas sodoran tim sukses, tanpa melihat kompetensinya, jika Bumdesa ingin maju dan berkembang. Dan strategi ketiga yang tidak kalah penting adalah memperbaiki pola-pola pendampingan dan pelatihan bumdesa selama ini. Baik mencakup metodologi, materi yang telah dilakukan analisis kebutuhan pelatihan (TNA), maupun pelatih atau fasilitator yang harusnya memiliki kompetensi sebagai fasilitator pelatihan (instruktur).

Demikian. Jika instansi atau periusahaan Anda memerlukan pelatihan atau outbound berkenaan dengan komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen, silakan hubungi kontak kami . Borneo Development Center siap.